Rabu, 19 September 2012

KH Abdurrohman Wahid


SECARA genetis KH Abdurrahman Wahid merupakan keturunan darah biru. Darah biru bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah Subhanahu Wataala berupa kecerdasan luar biasa.

Dia anak seorang tokoh besar umat Islam, khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari. Ibunya, Hajjah Sholehah, juga keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Sansuri.

Ayahnya menjadi menteri agama pertama Indonesia. Dengan demikian, baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Namun, sejarah kehidupannya tak mencerminkan kehidupan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pesantren. Dia diajar mengaji dan membaca Al Quran oleh kakeknya, Hasyim Asy'ari, di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim.

Panggilan "Gus'' merupakan tradisi di kalangan pesantren untuk menyebut atau memanggil anak kiai. Di beberapa daerah Jawa Barat, sebutan Gus diganti "Kang'' atau "Ning''. Karena namanya Abdurrahman Wahid, dia lebih populer dipanggil Gus Dur. Sama dengan orang memanggil Gus Baqoh, Gus Nadzif, Gus Munif, Gus Mik, dan lain-lain.

Al-Zastrouw dalam buku Gus Dur Siapa Sih Sampeyan menulis, pada tahun 1949, ketika clash dengan Pemerintah Kolonial Belanda berakhir, dan ayahnya diangkat sebagai menteri agama,keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Gus Dur menyelesaikan sekolahnya di Jakarta. Untuk menambah pengetahuan dan melengkapi pendidikan formal, ia dikirim ayahnya mengikuti les privat bahasa Belanda. Dia menempuh pendidikan itu dengan naik sepeda.

Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam dan mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran bahasa Belanda, Buhl selalu menyajikan musik klasik Barat yang biasa dinikmati orang dewasa. Itulah kali pertama persentuhan Gus Dur kecil dengan budaya Barat.

Menjelang lulus SD, dia memenangi lomba karya tulis dan menerima hadiah dari Pemerintah. Pada april 1953, beberapa bulan sebelum kelulusan, dia pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan.


Gus Dur terselamatkan, tetapi ayahnya meninggal dunia. Kematian Wahid Hasyim merupakan pukulan berat bagi keluarganya. Ibu Gus Dur Dur, Ny Sholehah, saat itu mengandung tiga bulan dan menanggung lima anak.

Ingin Jadi ABRI
Mungkin tak pernah dibayangkan Gus Dur saat kanak-kanak, remaja, bahkan setelah menjadi Ketua Umum PBNU selama tiga periode.

Ketika kecil dia sebenarnya ingin menjadi ABRI. Namun, karena sejak umur 14 tahun dia harus mengenakan kacamata minus, cita-cita itu kandas. Kendati harus berkacamata, Gus Dur justru tekun membaca buku. Berbagai buku dibacanya. Selain itu, ia sangat menyukai sepakbola, seni, catur, bahkan nonton film.


Ketika sekolah di SMEP di Yogyakarta, nilainya jeblok, bahkan tinggal kelas. Ini karena ia terlalu menggandrungi banyak hal, terutama buku dan bioskop.


Kesenangannya pada buku membuat kawan-kawannya sesama santri kaget. Sebab, Gus Dur telah melahap buku-buku seperti filsafat Plato, Das Kapital karya Karl Marx, karya Thalles, novel-novel William Bochner, dan masih banyak lagi. Tidak banyak anak sebayanya yang saat itu mempunyai kegemaran seperti Gus Dur.

Pertama di Yogyakarta dia tinggal di Pesantren Krapyak. Namun tidak betah dan merasa terkekang. Atas bantuan ibunya, dia memilih kos di rumah Haji Junaedi, seorang pemimpin lokal Muhammadiyah. Di tempat itu dia kerasan.

Sebagai anak kiai, tentu saja ia sangat menekuni ilmu agama. Hal ini sangat cocok dengan cita-cita ibunya yang menginginkan sang anak mewarisi kakek dan ayahnya untuk mengembangkan pesantren dan ilmu agama secara luas.

Gus Dur muda adalah sosok yang sangat rajin belajar, apa saja. Saat menimba ilmu di pesantren, dia tidak mau terkungkung oleh budaya di sana, tetapi ingin lebih banyak lagi memperoleh ilmu. Hal itu terbukti saat tiga tahun menjadi santri di Pesantren Tegalrejo Magelang asuhan KH Chudlori, Gus Dur masih ingin menambah ilmu dari pesantren lain seperti Pesantren Denanyar Jombang asuhan kakeknya, KH Bisri Syanusi.

Selama di pesantren itu, ia banyak menghabiskan waktunya dengan menimba ilmu dari para gurunya. Waktunya benar-benar dimanfaatkan untuk memperoleh sebanyak mungkin ilmu di sana. Pagi-pagi buta telah mengaji tiga kitab dengan seorang kiai pengasuh pesantren, seperti KH Fatah. Siang gantian dia mengajari para santri. Sehabis salat zuhur melanjutkan kembali menimba ilmu kepada kiai lain, seperti KH Masduki, kemudian mengaji kitab lain lagi dengan ustad sang kakek, KH Bisri Syansuri.

Ketekunan dan kegigihan yang luar biasa membuatnya banyak berbeda dari santri lain. Bahkan pada usia yang masih relatif muda, Gus Dur telah fasih dalam penguasaaan gramatika bahasa Arab. Itu tentu sangat membantunya saat


kuliah di Mesir.
Tahun 1960 Gus Dur berkesempatan menimba ilmu di Mesir melalui sebuah beasiswa yang diperoleh dari Departemen Agama. Saat itu usianya 23 tahun. Di sana ia menimba ilmu dengan mengambil spesialisasi bidang syariah yang dilaluinya selama tujuh tahun. Namun karena terlalu aktif berorganisasi, ia tidak berhasil menyelesaikan kuliah.


Nikah Jarak Jauh
Dari Kairo ia pindah ke Baghdad, Irak, dengan mengambil spesialisasi sastra dan ilmu humoris. Di sinilah Gus Dur berkenalan dengan pemikiran tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim.

Sebagai anak muda, Gus Dur yang penuh aktivitas belajar itu tidak melupakan urusan asmara. Hanya, model bercinta Gus Dur agak berbeda dari remaja saat itu. Hanya akibat tidak mau dilangkahi adiknya yang segera akan melangsungkan pernikahan, Gus Dur meminta tolong kakeknya, KH Bisri Syansuri, untuk melamar gadis pujaannya yang tak lain adalah bekas muridnya ketika Gus Dur mengajar di Pesantren Tambakberas.

Tidak hanya itu, Gus Dur meminta tolong sekaligus mewakili dirinya naik ke pelaminan. Gadis itu adalah Siti Nuriyah, putri H Abdulah Syukur, pedagang daging terkenal. Seorang gadis yang memang sebelum pergi ke Mesir telah "dipesan'' melalui orang tua gadis itu. Ia kemudian tidak pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Komunikasi hanya melalui surat. Dan ternyata Gus Dur langsung menikahinya dengan cara yang unik pula: nikah jarak jauh.

Nikah jarak jauh yang cukup unik itu berlangsung di Tambakberas, 11 Juli 1968. Sebagaimana permintaan dia, wakil pengantin laki-laki adalah Kiai Bisri Syansuri. Perkimpoian unik dan langka ini membuat suasana perkimpoian betul-betul istimewa, bahkan sempat membuat geger tamu undangan.

Bagaimana tidak, pengantin laki-laki sudah tua. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada 11 September 1971, pasangan Gus Dur-Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan. Pernikahan yang unik itu menghasilkan empat putri. Mereka adalah Alissa Munawwarah, Arifah, Chyatunnufus, dan Inayah.

Keluarga Gus Dur tak jauh berbeda dari model keluarga lain. Konsepnya tentang suami-istri, misalnya, pernah diungkapkannya. "Istri itu yang terbaik kalau nggak ikut campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah nggak mau tahu urusan istri. Yang penting menghormati hak masing-masing. Saya nggak pernah cerita-cerita.''


Jualan Es
Gus Dur mengisahkan pula hidup susahnya saat itu. "Pulang dari Mesir, saya mengajar di pondok pesantren. Untuk tambah-tambah penghasilan, istri saya tiap malam menggoreng kacang dan bikin es lilin. Kadang-kadang sampai pukul 02.00 pagi. Esok harinya dijual di warung-warung. Dia tidak guncang. Sampai hari ini, saya selalu ingat saat menderita dulu itu.''

Sebagai seorang ayah, Gus Dur sangat mencintai anak-anaknya, kendati dia memberikan kebebasan penuh kepada mereka untuk memilih cita-cita dan jenjang pendidikan yang harus dilalui.

Lisa, putri sulungnya, kini menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi UGM. Putri keduanya, Yenny, menjadi asisten koresponden Harian The Sydney Morning Herald di Sydney. Putri ketiganya, Nufus, sedang menyelesaikan studi sastra Cina di Universitas Indonesia. Si bungsu, Ina, masih duduk di bangku SMU. Satu dari keempat putrinya itu belum lama ini dinikahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar