Kyai Wahab
lahir dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah pada bulan Maret 1888 di
Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah,
pengasuh Pondok Tambakberas masih mempunyai hubungan kekerabatan
dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang sama-sama dari
Jombang, yaitu K.H Hasyim Asy'ari. Nasab keduanya bertemu dalam
satu keturunan dengan Kyai Abdussalam, Pendiri Pondok Pesantren Gedang.
Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya
sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara
hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan
malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian K.H. Hasbullah membimbingnya untuk
menghafalkan Juz Ammah dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu
beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan
isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya Kitab Safinatunnaja,
Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu'. Abdul Wahab
juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya
tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab dalam asuhan langsung
ayahnya. Setelah dianggap cukup bekal ilmunya, barulah Abdul Wahab merantau
untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Kemudian Abdul Wahab belajar di pesantren Bangkalan, Madura yang diasuh oleh
K.H. Kholil Waliyullah.
Beliau tidak puas hanya belajar di pesantren-pesantren
tersebut, maka pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah.
Di tanah suci itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada Syekh Mahfudh At
Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, Abdul Wahab langsung
diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.
Langkah awal yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah,
kelak sebagai Bapak Pendiri NU, itu merupakan usaha membangun semangat
nasionalisme lewat jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja dipilih 'Nahdlatul
Wathan' yang berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air', ditambah dgngan
gubahan syajr-syair yang penuh dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap
tanah tumpah darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah bukti dari
cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan. belenggu kolonial
Belanda.
Namun demikian, tidak kalah pentingnya memperhatikan
langkah selanjutnya yang akan ditempuh Kiai Wahab, setelah berhasil mendirikan
'Nahdlatul Wathan'. Ini penting karena dalam diri Kiai 'Wahab agaknya tersimpan
beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia
yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi,
beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela
pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama
bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.
Bertolak dari sifat dan sikap Kiai Wahab itulah, maka
mudah dipahami apabila kemudian beliau mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama
terkemuka seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok Kebondalem Surabaya, untuk
mendirikan madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula 'Taswirul Afkar' yang berarti
'Potret Pemikiran' itu, merupakan kelompok diskusi yang membahas berbagai
masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dan anggotanya juga terdiri atas para
ulama dan ulama muda yang mempertahankan sistem bermadzhab. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919, kelompok ini ditingkatkan
statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar' yang bertugas mendidik anak-anak
lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu pengetahuan agama tingkat
elementer.
Bertempat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya),
madrasah 'Taswirul Afkar' bergerak maju. Puluhan dan bahkan kemudian ratusan
anak di Surabaya bagian utara itu menjadi murid 'Taswirul Afkar', yang pada
saat itu (tahun-tahun permulaan) dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian,
bukan berarti meniadakan kelompok diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan
dan bahkan bertambah nampak hasilnya, berupa 'Taswirul Afkar'. Dan madrasah ini
hingga sekarang masih ada dan bertambah megah. Hanya tempatnya telah berpindah,
tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan Pegirian Surabaya.
Hingga di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan:
Syarikat Islam (SI) berhubungan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan
dengan K.H. Mas Mansur, dan Taswirul Afkar dengan K.H. A. Dachlan. Tiga
lingkungan itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih condong
pada kegiatan politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat dengan kelompok anti madzhab
sedangkan K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan Kiai Wahab, yakni ulama yang
mempertahankan sistem madzhab.
Dalam hubungannya dengan gerakan pembaruan itu, agaknya
Kiai Wahab seringkali tidak dapat menghindari serangan-serangan mereka baik
yang ada di SI maupun di K.H. Mas Mansur sendiri. Meski tujuan utamanya
membangun nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali dilancarkan
hingga Kiai Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan pendapat
antara Kiai Wahab dengan K.H. Mas Mansur.
Peristiwa ini tampaknya sudah terbayang dalam pikiran Kiai
Wahab, sehingga tidak perlu mempengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau
bertekad untuk mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Dengan K.H.
Mas Alwi, kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru:
Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang,
Far'ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di
Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.
Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah
dibelakangnya tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah air'. Ini berarti
tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Dan syair 'Nahdlatul
Wathan' berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya
sendiri-sendiri. Misalnya di Tebuireng, hingga tahun 1940-an syair tersebut
tetap dinyanyikan para santri setiap kali akan dimulainya kegiatan belajar di
sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan syair tersebut, para murid santri
diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya menyanyikan lagu kebangsaan
'Indonesia Raya'.
Seperti telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus
memperhatikan Nahdlatu1 Wathan dan juga keterlibatannya di SI, beliau juga
tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada
ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi
sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus 'masail
diniyyah' (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi
ulama-ulama muda yang
mempertahankan madzhab.
Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul
Wathan' tiga kali dalam seminggu. Dan pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas
dari Jawa Timur saja, melainkan juga ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan
beberapa lagi dari Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang. Karena
peserta begitu banyak, maka .Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk membantu.
Di antara teman-temannya yang bersedia mendampingi ialah KH. Bishri Syansuri
(Jombang), KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan
KH. Ridlwan Abdullah keduanya dari Surabaya, K.H. Maksum dan K.H. Chalil
keduanya dari Lasem, Rembang. Sedangkan dari kelompok pemuda yang setia
mendampingi Kiai Wahab ialah: Abdullah Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri,
dan Abdul Hakim, Petukangan Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari
Surabaya.
Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan
cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis. Enam puluh lima ulama
yang dikursus, agaknya dipersiapkan betul untuk menjadi juru bicara tangguh
dalam menghadapi kelompok pembaru, sehingga dalam perkembangan berikutnya,
ketika berkobar perdebatan seputar masalah 'khilafiyah' di beberapa daerah,
tidak lagi perlu meminta kedatangan Kiai Wahab, tapi cukup dihadapi ulama-ulama
muda peserta kursus tersebut.
Pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari
Raja Hijaz lalu membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd. Wahab Hasbullah
mengusulkan agar delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya madzahibul arba' ah
di Makkah - Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang diperhatikan oleh
tokoh-tokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas izin KH.Hasyim Asy'
ari membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri ke Makkah - Madinah.
Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA,
sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abd. Wahab
Hasbullah.
Demikianlah selintas pintas riwayat K.H. Abdul Wahab
Hasbullah dalam menegakkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam rangka
mengusir penjajah di tanah tercinta Indonesia. Di samping itu beliau seorang
tokoh besar Islam terutama dalam mempertahankan kebenaran madzhab dari serangan
kaum yang menyebut dirinya modernis Islam.
ulama tiga zaman
Demikianlah Kyai Wahab Chasbullah, ulama yang diberkati
Tuhan memperoleh
kesempatan hidup dalam tiga zaman, (1) zaman pergerakan
kemerdekaan; (2)
sesudah proklamasi kemerdekaan; dan (3) masa Orde Baru.
Kiai ini pernah
merasakan pahit getirnya hidup, dan banyak teladan yang
ditinggalkan bagi
generasi sesudahnya. Dalam masa kepemimpinannya dia juga
tidak lepas dari
ejekan, fitnah dan hinaan disamping tentu saja sanjungan
dan hormat. Pada
zaman Orde Lama misalnya, banyak orang mengejek Kyai Wahab
sebagai "Kyai
Nasakom" atau "Kyai Orla" lantaran NU
menerima konsep Nasakom dan dekat
dengan Bung Karno. Padahal kata Kyai Saifuddin Zuhri,
semua orang dan semua
organisasi waktu itu menerima Nasakom termasuk ABRI. Ya,
siapa yang berani
menentang Bung Karno waktu itu?
Menanggapi hal ini Kyai Wahab berjiwa besar dan menanggapi
dengan tertawa
enteng. "Ha..ha..ha.. Ya biarkan saja," katanya.
"Ejekan itu masih belum apa-apa dibanding dengan
ejekan terhadap Nabi
Muhammad SAW yang dianggap gila. Saya kan masih belum
dianggap gila,"
katanya.
Yang jelas, hampir sepanjang hidupnya, perhatian,
pemikiran, harta dan
tenaganya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam dan
bangsa melalui
Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika Kyai Wahab tidak pernah
absen selama 25
kali Muktamar NU.
Saat sakit dan menjelang wafatnya, Kyai Wahab masih
berkeinginan bisa
menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap bisa
ikut memberikan
suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan
itu dikabulkan
Tuhan. Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, kyai
kondang ini terpilih
sebagai Rois 'Am PB Syuriah NU. Empat hari kemudian
setelah Muktamar
Surabaya, ulama yang banyak berjasa terhadap bangsa ini
dipanggil Tuhan. Dia
wafat di rumahnya yang sederhana, di Kompleks Pesantren
Tambakberas, Jombang
pada 29 Desember 1971.
Dalam khutbah iftitahnya yang terakhir sebagai Rois 'Am,
Kyai Wahab masih
sempat berharap, "Supaya NU tetap menemukan arah
jalannya di dalam
mensyukuri nikmat karunia Allah SWT, sebagai suatu partai
terbesar (dalam
arti besar amal saleh dan hikmahnya kepada bangsa dan
negara), melalui
cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal-
Jama'ah."
Diingkatkan pula agar kaum Nahdliyin kembali pada jiwa
Nahdlatul Ulama tahun
1926. Dan sekarang ini NU telah kembali ke khittah 1926.
Mengikuti harapan
Kyai Wahab. (Di olah dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar