Jumat, 12 Oktober 2012

Singkirkan Kepalsuan: Kenapa dan Ada apa dengan Sifat 20 ?

Singkirkan Kepalsuan: Kenapa dan Ada apa dengan Sifat 20 ?: Sungguh orang orang yang membaca dengan sepintas aqidah ahlussunnah Asy'ariyah akan mendapati bahwa mereka meringkas sifat sif...

Rabu, 03 Oktober 2012

Sepuluh Tokoh Berpengaruh NU: Dari Hasyim Asy’ari sampai Presiden RI ke-4


Pengaruh mereka tidak hanya dalam bangunan yang berisikan para pemuda yang berpeci dan berkopiah, melainkan juga di gedung wakil rakyat, bahkan juga istana negara.Peran NU dari sejak berdirinya, 1926, sampai hari ini cukup signifikan. Tidak hanya dalam hal keagamaan, melainkan juga dalam bidang-bidang lain, termasuk politik.

Kini, ketika NU memasuki usia 84 tahun, alKisah menyuguhkan penggalan-penggalan kisah sepuluh tokoh berpengaruh dalam kehidupan ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu.

Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman.
Ia lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri Pesantren Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya dari pihak ayah, Kiai Sihah, pendiri Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantern itu berada di Jombang.
Sampai umur 13 tahun, Hasyim belajar kepada orangtuanya sendiri sampai pada taraf menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras. Muridnya tak jarang lebih tua dibandingkan dirinya.
Pada umur 15 tahun, ia memulai pengembaraan ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura: Probolinggo (Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan), Bangkalan, Madura (Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan), dan Sidoarjo (Pesantren Siwalan Panji).
Pada pengembaraannya yang terakhir itulah, ia, setelah belajar lima tahun dan umurnya telah genap 21 tahun, tepatnya tahun 1891, diambil menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah.
Namun, dua tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini tengah berada di Makkah, Khadijah meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. Kala itu Hasyim tengah belajar dan bermukim di tanah Hijaz.
Tahun itu juga, Hasyim pulang ke tanah air. Namun tak lama kemudian, ia kembali ke Makkah bersama adiknya, Anis, untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar.
Tahun 1900, ia pulang kampung dan mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun  kemudian, 1903, ia mengajar di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di tempat mertuanya, Kiai Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya, Nafisah.
Selama di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits Shahih Al-Bukhari di Makkah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci.
Selama hidupnya, K.H. Hasyim menikah tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan Nafisah, antara lain ia juga menikahi Nafiqah, dari Siwalan Panji, Masrurah, dari Pesantren Kapurejo, Kediri.
Tahun 1899, 12 Rabi’ul Awwal 1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi kreatif. Ia juga memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, seperti Bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah dengan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia.
Kiai Cholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai.
Menghadapi penjajah Belanda, K.H. Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.
Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar Hasyim adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Menurut Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat madzhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak memiliki literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin bisa memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut imam madzhab.
NU didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab.
Kiai Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun.
Abdul Wahab Chasbullah 

Ia lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?).
Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang (Siapa?).
Pendidikannya dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan (Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura), langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang).
Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened.
Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah haji bersama istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah dengan Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua ini juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga wanita yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya dari istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said.
Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi dengan Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama Syaichu, yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu ia menikah lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan Ashikhah binti Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah memberinya empat anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang istri, yang mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya keturunan lima anak.
Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur.
Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri (1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari memainkan peranan penting di NU.
Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran Surabaya-Jombang.
Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.
Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis.
Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15 kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya.
Pertemuan tersebut akhirnya juga menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia Belanda.
Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam.
Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya.
Meski Masyumi adalah organisasi non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis, dimaksudkan untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan Jepang.
November 1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi satu-satunya kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan.
Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang NU tampil di pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA.
Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU.
Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro. Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi. Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Zainul Arifin.
Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI.
Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada bidang politik praktis di Jakarta,  terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU.
K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971, pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.
Bisri Syansuri 

RUU Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974, terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar Bisri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama sejumlah ulama itu, setelah mendapat restu dari Majelis Syuro PPP, diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan.
Begitu pula ketika ada usaha keras untuk mengganti tanda gambar PPP dari Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, ia tampil dominan dan berhasil mempertahankan tanda gambar PPP.
Diakui atau tidak, ia adalah penerus Wahab Chasbullah, yang kebetulan sahabat karib dan kakak iparnya, baik di NU, PPP, maupun DPR.
Setelah Wahab wafat pada 1971, ia menggantikan posisi kakak iparnya itu di NU sebagai rais am. Tapi memang sejak adanya jabatan rais am, yang ditetapkan setelah wafatnya Hasyim Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi “dwi tunggal” sebagai ketua dan wakil.
Bisri, anak nomor tiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah, lahir pada 18 September 1886/26 Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi ajaran Islam.
Umur tujuh tahun, ia belajar agama kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan tahun. Setelah itu ia mempelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada Kiai Abdul Salam, salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah itu ia ke Jepara belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil Kasingan.
Umur 15 tahun ia menuju Bangkalan, Madura, berguru kepada Kiai Cholil. Di sinilah ia berjumpa dan berteman akrab dengan Wahab Chasbullah.
Dari Bangkalan, ia menuju Jombang, berguru kepada K.H. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng.
Setelah enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.
Seusai dari Tebuireng, ia melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama Wahab (1912). Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan Syaikh Mahfudz Termas.
Tahun 1914 ia mempersunting adik Wahab Chasbullah, Nur Chadijah, di Tanah Suci. Setelah itu, tahun itu juga, Bisri balik ke tanah air dan menetap di Jombang, membantu mertuanya mengurus Pesantren Tambakberas.
Pada 1917, atas bantuan mertua, ia membuka pesantren sendiri di Desa Denanyar, yang populer dengan sebutan Pesantren Denanyar. Tahun itu pula, kakak iparnya, Wahab, pulang kampung. Bisri ikut terlibat dalam sepak terjang Wahab ketika mendirikan Komite Hijaz dan pembentukan NU pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya.
Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara Kiai Wahab dan Kiai Hasyim Asy`ari.
Segera setelah NU terbentuk, sebagai pembantu dalam susunan pengurus besar, ia menjadi motor penggerak di Jombang dan daerah pesirir utara Jawa. Posisi itu membuatnya dikenal secara luas.
Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh anak, tapi ada beberapa yang meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya itu, Solichah, dinikahkan dengan Wahid Hasyim, putra sulung Hasyim Asy`ari, gurunya.
Ketika Masyumi terbentuk, ia pun aktif di dalamnya. Periode kemerdekaan juga membawanya pada fase perjuangan bersenjata.    Di pemerintahan, ia mula-mula duduk di Komite Nasional Indonesia Pusat, mewakili Masyumi. Tahun 1855 ia terlibat dalam Dewan Konstituante hasil pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 ia terpilih masuk DPR.
K.H. Bisri Syansuri menutup mata beberapa bulan setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar Semarang Juni 1979, tepatnya pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun. 

K.H. Ahmad Shiddiq

“Ibarat makanan, Pancasila, yang sudah kita kunyah selama 36 tahun, kok sekarang dipersoalkan halal dan haramnya.” Demikian ungkapan K.H. Ahmad Shiddiq mengenai penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, dalam Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo.
NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal, padahal tidak sedikit umat yang menolaknya, apalagi partai Islam. Itulah ketokohan, kemampuan intelektual, dan kapasitas keulamaan Ahmad Shiddiq.
Pujian Presiden Suharto terucap pada tahun 1989 ketika membuka Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. Sejak itu, di bawah kepemimpinan Ahmad Shiddiq, sebagai rais am, pamor NU semakin terangkat.
Pada Muktamar NU ke-27/1984 di Situbondo, ia berhasil menjadi palang terakhir pemisahan diri yang dilakukan K.H. As`ad Syamsul Arifin terhadap kepemimpinan PBNU hasil Muktamar ke-28. Ia  merangkul kembali kiai sesepuh NU yang kharismatis tersebut.
Pada Muktamar NU ke-28 itu ia berhasil menyelamatkan duet dirinya dengan Gus Dur, yang banyak menerima guncangan dari sebagian warga NU sendiri.
Begitu juga mengenai “kembali ke khiththah NU 1926”. Meski bukan satu-satunya perumus, dialah yang disepakati sebagai bintangnya kembali ke khiththah. Pada 1979 ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang khiththah Nahdliyah, sebagai sumbangan berharga bagi warga NU.
Ahmad Shiddiq lahir di Jember tepat seminggu sebelum NU diresmikan berdirinya oleh Hasyim Asy’ari, yaitu 24 Januari 1926. Ayahnya, K.H. M. Siddiq, adalah pendiri Pesantren Ash Shiddiqiyah di Jember. Seusai belajar di Ash-Shiddiqiyah, ia belajar di Pesantren Tebuireng.
Ia diangkat menjadi sekretaris pribadi menteri agama ketika jabatan itu dipercayakan kepada Wahid Hasyim pada 1950. Ketika menjadi ketua Tanfidziyah NU, Abdurrahman Wahid, cucu K.H. Hasyim Asy`ari, pun berduet dengannya sebagai rais am PBNU.
Sebelum itu, ia mundur dari DPR hasil Pemilu 1955, karena, “Saya selalu bicara keras soal Nasakom.” Ia hadir kembali sebagai wakil rakyat setelah pemilu Orde Baru pertama, 1971.
Tanggal 23 Januari 1991, K.H. Ahmad Shiddiq berpulang ke rahmatullah pada usia 65 tahun. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di pemakaman Auliya, Ploso, Kediri, tempat beberapa kiai hafal Al-Quran dikuburkan.

K.H. Abd Wahid Hasyim

Gus Wahid, demikian ia biasa disapa, lahir pada Jum’at 1 Juni 1914, dari pasangan K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU, dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas. Ia anak lelaki pertama pasangan tersebut.
Umur lima tahun, Wahid Hasyim mulai belajar mengaji kepada ayahnya, dan umur tujuh tahun sudah khatam Al-Quran.
Umur l3 tahun, ia masuk pesantren di Siwalan Panji, Sidoarjo, Mojosari, Nganjuk, dan Lirboyo. Setelah itu ia belajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan.
Tahun 1932, ketika berumur 18 tahun, ia pergi haji dan bermukim di Tanah Suci selama dua tahun.
Empat tahun sepulang dari Tanah Suci, ia bergabung dengan NU. Di NU ia mulai dari bawah, sekretaris tingkat ranting di Desa Cukir. Namun lompatan panjang terjadi. Tak lama kemudian ia dipercaya menjadi ketua NU cabang Jombang, dan ketika departemen maarif (pendidikan) NU dibuka pada tahun 1940 ia ditunjuk sebagai ketuanya. Sejak itu ia duduk di barisan pengurus PBNU.
Pada umur 25 tahun ia menikah dengan Solichah binti K.H. Bisri Syansuri. Mereka  pasangan yang serasi, termasuk dalam dunia politik. Ketika sang suami menjadi menteri, sang istri pun menjadi anggota DPR. Pasangan ini dikaruniai enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan.
Bulan Maret 1942, Jepang mendarat. Semua ormas dan orpol Islam dilarang, dan dibentuk MIAI. Kiai Wahid terpilih menjadi ketuanya. Kedudukan itu, belakangan, mengantar dirinya ke pusat perjuangan bangsa Indonesia di zaman Jepang. Ia menjadi anggota Cu Sangi In, kemudian Dokuritsu Zombi Cosakai, hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
K.H. Wahid Hasyim adalah salah satu dari sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta. Sikapnya yang tegas tapi luwes menjadikannya figur yang dapat diterima oleh berbagai kalangan kendati umurnya baru sekitar 30 tahun.
Suksesnya mengintegrasikan kelasykaran golongan Islam ke dalam TRI, dan kemudian TNI, mengantarnya menjadi penasihat Panglima Besar Soedirman hingga terjadi Clash I, pemberontakan PKI Madiun, dan Clash II.
Setelah ayahnya wafat pada 25 Juli 1947, ia mengasuh Pesantren Tebuireng.
Dalam Kabinet Sukiman, ia menjadi menteri agama. Lima kali ia menjadi menteri. Yaitu menteri negara dalam Kabinet Presidentil I (1945), menteri negara dalam Kabinet Syahrir (1946-1947), menteri agama Kabinet RIS (1949- 1950), menteri agama Kabinet Natsir (1950- 1951), dan menteri agama Kabinet Sukiman (1951-1952).
Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif dalam Partai NU, yang saat itu baru memisahkan diri dari Partai Masyumi.
Pada 19 April 1953, ia dipanggil ke haribaan Allah SWT dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Cimindi, Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 39 tahun. Jenazah dimakamkan di Tebuireng, hari itu juga.
Dengan Keppres No. 206/1964 tertanggal 24 Agustus 1964, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional disandangkan kepada K.H. Wahid Hasyim.
 K.H. M. Ilyas Ruhiat

Mohamad Ilyas lahir pada 31 Januari 1934. Ia putra pasangan Ajengan Ruhiat dan Siti Aisyah. Ilyas hanya nyantri di Cipasung. Sejak kecil, ia berpembawaan tenang dan sejuk, namun kharisma dan kecerdasannya diakui oleh para ulama di kalangan NU dan non-NU.
K.H. Ilyas memulai kariernya di organisasi NU sejak 1954, terpilih sebagai ketua NU Cabang Tasikmalaya. Saat itu ia merangkap ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Jawa Barat. Tahun 1985-1989, ia menjadi wakil rais Syuriah NU Jawa Barat.
Tahun 1989, saat muktamar NU di Krapyak, Ilyas terpilih menjadi salah seorang rais Syuriah PBNU. Puncaknya, tahun 1994, pada muktamar ke-29 NU yang berlangsung di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, ia terpilih menjadi rais am PBNU, mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua umum PBNU.
Pada saat muktamar NU di Krapyak, K.H. Ilyas menjadi salah satu anggota rais Syuriah PBNU. Kemudian, sejak Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU di Bandar Lampung tahun 1992, ia ditunjuk sebagai pelaksana rais am Syuriah NU, menggantikan Rais Am K.H. Ahmad Siddiq, yang wafat. Kemudian, ia kembali menjadi rais am untuk periode berikutnya, 1994-1999.
K.H. Ilyas menikah dengan Hj. Dedeh Fuadah, dan memiliki tiga anak.
K.H. Muhammad Ilyas Ruhiat, atau kerap disebut “Ajengan Ilyas”, adalah sosok yang sangat santun, lembut, mengayomi, dan menebarkan aura kesejukan. Kepribadiannya mencerminkan tipikal ulama NU sejati: penuh toleransi, bersahaja, dan gandrung pada kedamaian.
Potret kesejukan Kiai Ilyas Ruhiat semakin mengemuka ketika NU diguncang prahara usai Muktamar Cipasung tahun 1994.
Ketika itu perhelatan lima tahunan tersebut berakhir dengan pecahnya kepengurusan PBNU ke dalam dua kubu, pro Gus Dur dan pro Abu Hasan. Bahkan, kelompok kedua itu sempat mengadakan muktamar luar biasa di Asrama Haji Pondok Gede.
Lima tahun kemudian, dengan pendekatannya yang menyejukkan, perlahan warga NU kembali bersatu. Ketika merasa tugasnya untuk menyatukan jam`iyah sudah selesai, bapak tiga anak ini kemudian mengundurkan diri pada Muktamar Lirboyo 1999. Ajengan Ilyas lebih memilih kembali mengajar di pesantrennya di lereng Gunung Galunggung.
Ajengan Ilyas wafat pada Selasa 18 Desember 2007. Pengasuh Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, ini berpulang ke hadirat Allah SWT dalam usia 73 tahun.

K.H. M.A. Sahal Mahfudz

K.H. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah, seluruh kehidupan dan aktivitasnya terkait dengan dunia pesantren, ilmu fiqih, dan pengembangan masyarakat.
Kiai Sahal memang nahdliyyin tulen. Dalam menyikapi berbagai problematik sosial, ia selalu menjunjung tinggi sikap tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (egaliter), yang menjadi ciri khas ulama NU.
Namun, kontribusi pemikirannya yang paling menonjol adalah perhal fiqih sosial kontekstual, yakni bahwa fiqih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah.  Penampilan Kiai Sahal Mahfudz bersahaja, tenang, dan lugas dalam berbicara tapi tidak terkesan menggurui. Padahal ia adalah nakhoda kapal besar bernama Nahdlatul Ulama dan MUI, yang fatwa-fatwanya sangat berpengaruh.
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz lahir di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937. Ia putra K.H. Mahfudz Salam, pendiri Pesantren Maslakul Huda, pada tahun 1910. Nasab Mbah Sahal bermuara pada K.H. Ahmad Mutamakin, tokoh legendaris yang diyakini hidup pada abad ke-18, salah seorang waliyullah, penulis kitab tasawuf Serat Cebolek.
Sahal Mahfudz kecil mengaji kepada orangtuanya, sambil bersekolah di Madrasah Diniyyah tingkat ibtidaiyah (1943-1949) dan tingkat tsanawiyah (1950-1953) di lingkungan Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Sambil sekolah di Madrasah Diniyyah, ia juga mengikuti kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Tamat MTs, Sahal nyantri di Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, yang diasuh Kiai Muhajir. Empat tahun kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Di pesantren yang terkenal dengan pendidikan ilmu fiqih itu ia belajar langsung kepada Kiai Zubair. Selain mengaji, ia, yang sudah cukup alim, juga diminta membantu mengajar santri-santri yunior.
Pertengahan tahun 1960, usai menunaikan ibadah haji, Sahal Mahfudz bermukim di Makkah dan belajar kepada Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Tak kurang tiga tahun ia berguru kepada ulama besar Al-Haramain asal Padang itu. Tahun 1963, ia pulang ke tanah air.
Kehadiran ulama muda yang berita kealimannya dalam bidang fiqih sudah mulai tersebar itu segera saja menarik perhatian beberapa lembaga. Sejak 1966 Kiai Sahal diminta mengajar sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi. Puncaknya, sejak 1989, ia dipercaya menjadi rektor di Institut Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
Meski hanya belajar di bangku pesantren, sejak muda Kiai Sahal telah menunjukkan bakat menulis. Tradisi yang semakin langka di lingkungan ulama NU. Ratusan risalah atau makalah dan belasan buku telah ditulisnya.
Salah satu karya yang merupakan bukti keandalannya dalam menulis adalah kitab Thariqat al-Hushul (2000), syarah atas kitab Ghayah Al-Wushul, sebuah kitab tentang ushul fiqh karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari. Karena kelebihan tersebut, Kiai Sahal kemudian banyak didekati kalangan media.
Kiprah Kiai Sahal di NU diawali dengan menjadi kahtib Syuriah Partai NU Cabang Pati 1967-1975. Kedalaman ilmunya dan kearifan sikapnya perlahan membawa langkah kaki suami Dra. Hj. Nafisah Sahal itu ke jenjang tertinggi di NU, yakni rais am Syuriah PBNU, untuk periode 1999-2004, dan terpilih lagi di Muktamar Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, untuk periode 2004-2009.
Kiai Sahal sangat teguh dalam menjaga sikap. Saat terpilih menjadi rais am PBNU pada 1999, ia menyampaikan pandangan kenegaraannya bahwa, sejak awal berdirinya NU, warga nahdliyyin berada pada posisi menjaga jarak dengan negara. Karena itu, meski jabatan presiden saat itu diemban oleh K.H. Abdurrahman Wahid, yang juga tokoh NU, Kiai Sahal tetap mempertahankan tradisi tersebut dengan selalu bersikap independen terhadap pemerintah.
Selain di NU, kefaqihan Kiai Sahal juga membawanya ke MUI. Setelah sepuluh tahun memimpin MUI Jawa Tengah, pada tahun 2000 ia terpilih menjadi ketua umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005, dan terpilih lagi untuk periode 2005-2010.

K.H. Idham Chalid

Menyebut nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita tentu akan melayang pada gonjang-ganjing NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus menghadapkan dua kubu tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu Situbondo.
Konflik internal NU itu juga yang kemudian membuat Idham dianggap kontroversial. Bahkan ia dijuluki “politikus gabus”, karena dianggap  tidak memiliki pendirian.
Tak banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kiai Idham, yang sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai, Idham memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, dan bila perlu kompromistis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel, tapi tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya.
Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga stabilitas kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang berdarah-darah.
Strategi politik tersebut dilandaskan pada beberapa prinsip. Di antaranya, luwes, memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan kepentingan umat. Menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa, demi kemaslahatan umat.
Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.
Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun, dalam intrnal nahdliyyin ada anggapan bahwa keterlibatan NU di wilayah politik di bawah kepemimpinannya terlalu besar. Maka, dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang tengah digaungkan kalangan muda NU di Muktamar Situbondo 1984, pihak lawan membuat Idham terjatuh dari kursinya.
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya, H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, ia langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.
Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922. Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.
Di mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat. Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa Timur, itu.
Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi membuat namanya bersinar. Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.
Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibu kota, kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.
Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang dipimpin Hassan Basry, muridnya saat di Gontor. Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.
Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.
Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Chasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.
Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamijoyo, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid.
Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU, menggantikan K.H. Muhammad Dahlan.
Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.
Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang, dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera, yang dibentuk Presiden Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai tahun 1970 dan menteri sosial sampai tahun 1971.
Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP.
Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI sampai tahun 1977.  
Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung.

KH. Ali Ma’shum

Kiai Ali lahir pada 15 Maret 1915 di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia putra Kiai Ma`shum, pemimpin Pesantren Al-Hidayah, Soditan, Lasem Rembang, Jawa Tengah.
Ketika usianya menginjak 12 tahun, Ali dikirim ke Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur, pesantren terbesar dan termasyhur kala itu selain Tebuireng, Jombang, dan Lasem sendiri. Di Termas ia berguru kepada Syaikh Dimyathi At-Tarmasi, adik Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, ulama besar Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram.
Sebagai putra kiai kondang, sejak kecil Ali telah digembleng dengan dasar-dasar ilmu agama. Sehingga, ketika delapan tahun belajar di Termas, ia sama sekali tak menemukan kesulitan. Ia mendapat perhatian istimewa dari Syaikh Dimyathi. Sejak awal mondok, Ali diizinkan gurunya mengikuti pengajian bandongan, yang biasanya hanya diikuti santri-santri senior. Bahkan ia dibiarkan membaca kitab-kitab karya ulama pembaharu, yang tidak lazim dipelajari di pesantren salaf. Syaikh Dimyathi menilai, Ali Ma’shum sudah memiliki dasar keilmuan yang cukup kuat, sehingga bacaan-bacaan itu tidak akan mempengaruhinya, bahkan justru akan memperluas pandangannya.
Segala kelebihan Ali Ma’shum itu tidak terlepas dari kepandaiannya dalam ilmu bahasa Arab, yang di atas rata-rata.
Sekembali dari Termas, Ali membantu ayahnya mengasuh pesantren mereka di Lasem. Tak lama kemudian ia dinikahkan dengan Hasyimah binti Munawir, putri pemimpin Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sebulan setelah pernikahan, ia pergi haji.
Selain berhaji, selama dua tahun bermukim di Makkah, Ali juga belajar kepada ulama besar Tanah Suci, Sayyid Alwi Al-Maliky dan Syaikh Umar Hamdan.
Ketika Kiai Ali kembali dari Makkah, tahun 1941, kondisi tanah air kacau balau. Penjajah Jepang baru saja masuk. Seperti pesantren-pesantren lain, Pesantren Lasem pun sepi, ditinggal para santrinya.
Dengan usaha Kiai Ali yang gigih, perlahan pesantren yang didirikan ayahandanya itu kembali menggeliat bangkit.
Namun baru dua tahun ia memimpin Pesantren Lasem, ibu mertuanya datang dan minta dirinya pindah ke Krapyak, Yogyakarta, untuk memimpin pesantren yang baru saja ditinggal wafat Kiai Munawir. Sentuhan tangan dinginnya berhasil menghidupkan kembali Pesantren Krapyak, Bersama ipar iparnya, ia meneruskan kepemimpinan Kiai Munawir hingga Pesantren Krapyak kembali berkembang pesat dan dikenal luas.

Arus perubahan melanda NU menjelang dan di awal tahun 1980-an. Yakni, adanya keinginan untuk kembali ke khiththah 1926, bahwa NU tidak berpolitik. Setelah wafatnya Rais Am K.H. M. Bisri Syansuri pada 25 April 1981, untuk menduduki posisi puncak dalam kepemimpinan NU, salah seorang yang dianggap paling pas adalah Kiai Ali Ma’shum.
Benar saja, September 1981, Kiai Ali Ma’shum terpilih menjadi rais am PBNU. Ia dipilih dalam Muktamar NU di Kaliurang, Yogyakarta.
Masa 1981 sampai 1984 itu ternyata merupakan babak yang sangat menarik bagi NU. Tahun 1982 berlangsung pemilihan umum. Menjelang pemilu, beberapa tokoh NU disingkirkan dari PPP, sehingga di kalangan NU timbul keinginan untuk meninggalkan partai berlambang Ka’bah itu.
Kiai Ali termasuk orang yang tidak setuju dengan langkah tersebut. Bersama dengan Kiai As`ad Syamsul Arifin, Kiai Mahrus Ali, dan Kiai Masykur, ia minta agar Ketua PBNU K.H. Idham Chalid mundur dari jabatan, karena dianggap gagal memimpin.
Pada awalnya Idham Chalid setuju mundur. Tapi beberapa hari kemudian, karena ada pengkhianatan, ia mencabut pernyataan pengunduran dirinya itu.
Nahdlatul Ulama pecah menjadi dua kelompok: kelompok Idham Chalid, atau sayap politik, yang berbasis di Cipete, Jakarta Selatan, dan kelompok Kiai As’ad, atau sayap khiththah, yang disebut kelompok Situbondo. Walaupun demikian, selalu diupayakan agar terjadi ishlah.
Namun usaha itu gagal, Setelah upaya ishlah mentok, Kiai Ali menganggap kelompok Cipete tidak ada, hingga jabatan ketua umum atau ketua tanfidziyah dirangkap oleh rais am.
Pada 1983, sayap khiththah mengadakan Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo dan menghasilkan konsep kembali ke khiththah 1926. Tahun berikutnya, pada Muktamar ke-27, ditetapkanlah konsepsi tersebut serta penerimaan asas tunggal Pancasila. Dengan keputusan itu, NU menyatakan independen, tidak ada hubungan dengan partai politik tertentu. Jabatan ketua tanfidziyyah diserahkan kepada K.H. Abdurrahman Wahid dan jabatan rais am diserahkan kepada K.H. Achmad Siddiq. Kiai Ali sendiri duduk dalam Dewan Penasihat atau Mustasyar.
Kamis 7 Desember 1989, tepat usai adzan maghrib, Kiai Ali Ma’shum berpulang ke rahmatullah dalam usia 74 tahun. Keesokan harinya, ribuan umat Islam mengantarkan kepergiannya ke peristirahatan terakhir di Pekuburan Dongkelan, Bantul, Yogyakarta.
.K.H. Abdurrahman Wahid

Saat Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, sempat terjadi suasana yang panas. Bukan hanya karena konflik kubu Situbondo dan kubu Cipete, melainkan juga karena kubu Situbondo terancam pecah akibat K.H. Machrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, menolak K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi ketua umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU apabila tidak mau melepaskan jabatannya sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta. Alasannya, ketua umum PBNU tidak pantas ngurusi “kethoprak”.
Namun ternyata Gus Dur tidak mau mundur. Ia bersikeras lebih baik tidak jadi ketua umum PBNU daripada melepas jabatan ketua DKJ. Sikap keras Gus Dur sekilas tampak agak menyimpang dari tradisi keulamaan NU, yakni tunduk kepada kiai. Apalagi K.H. Machrus saat itu rais Syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur.
Masalahnya kemudian terselesaikan saat K.H. Achmad Sidiq dari Jember bercerita kepada K.H. Machrus Ali. Ia bermimpi melihat K.H. Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, berdiri di atas mimbar. Spontan K.H. Machrus berubah, sikap mendukung Gus Dur tanpa syarat. Ia menakwilkan mimpi itu, K.H. Wahid Hasyim merestui Gus Dur.
Sekalipun lebih tua, K.H. Machrus tawadhu kepada K.H. Wahid Hasyim, karena K.H. Wahid Hasyim adalah putra Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU dan gurunya.
Akhirnya Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, dan pada dua muktamar berikutnya ia kembali terpilih sebagai ketua umum. Maka selama lima belas tahun (1984-1999) NU berada dalam kendali Gus Dur.
Kejadian di tahun 1984 itu menunjukkan kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU. Dua pilar dalam tradisi itu adalah nasab, yaitu atas dasar hubungan darah, dan hubungan patronase kiai-santri atau guru-murid.
Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat, baik dari jalur ayah maupun ibu. Selain cucu K.H. Hasyim Asy-ari dari jalur ayah, ia pun cucu K.H. Bisri Syansuri dari jalur ibu. K.H. Bisri Syansuri, rais am ketiga NU dan pengasuh Ponpes Denanyar, Jombang, adalah ayahanda Hj. Solichah Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur.
Dalam hubungan patronase kiai-santri, Ponpes Tebuireng merupakan ”kiblat”, khususnya semasa K.H. Hasyim Asy`ari. Banyak kiai besar yang belajar di Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang santri kepada putra kiainya sama dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada cucu kiainya. Karena itu, putra atau cucu kiai dipanggil “Gus”.
Wajar jika Gus Dur memiliki superioritas tinggi di mata nahdliyin. Apalagi, ia juga memiliki kemampuan keilmuan yang dipandang sangat tinggi di antara para tokoh NU. Meskipun tidak dikenal sebagai spesialis dalam salah satu atau bebrapa cabang ilmu keislaman, ia sangat menguasai kitab kuning, juga kitab-kitab kontemporer yang disusun para ulama di masa belakangan. Selain mumpuni dalam ilmu-ilmu agama, ia pun menguasai berbagai ilmu lain dengan wawasan yang sangat luas.
Di masa Gus Dur, pamor NU terus menaik. Ia berhasil membawa NU menjadi kekuatan yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan, yang waktu itu tak terimbangi oleh siapa pun. Setelah sebelumnya kurang diperhitungkan, kecuali di saat-saat pemilu, NU kemudian berubah menjadi betul-betul dikenal dan dihormati banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika sebelumnya jarang dibicarakan orang, dalam waktu singkat NU berubah menjadi obyek studi dari banyak sarjana di mana-mana. Semua itu tak dapat dilepaskan dari peran Gus Dur, baik sebagai ketua umum PBNU maupun sebagai pribadi dalam berbagai kapasitasnya.
Ya, Gus Dur memang punya kharisma yang besar di mata para kiai, apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela menuju dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan NU terhadap Gus Dur, karena ia membawa pesantren dan NU ke dunia luar yang luas. Ia membuka masyarakat NU untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global.
Sejak di bawah kepemimpinan Gus Dur, peran NU sebagai jam`iyyah maupun peran tokoh-tokohnya sebagai individu dari waktu ke waktu semakin kuat dan terus meluas, termasuk dalam politik. Meskipun secara resmi NU telah menyatakan diri kembali ke khiththah dan tidak lagi berpolitik praktis, pengaruh politiknya tak pernah surut, bahkan semakin menguat. Tokoh-tokoh NU yang terlibat di pentas politik, meskipun tidak mengatasnamakan NU, semakin banyak.
Munculnya PKB dan partai-partai baru lainnya sangat mengandalkan dukungan warga NU.

Dinamika politik kemudian terus bergulir. Hanya berselang setahun tiga bulan setelah pendirian PKB, akhirnya pada bulan Oktober 1999 Gus Dur terpilih sebagai presiden RI yang keempat melalui pemilihan langsung yang dramatis di MPR. Itulah puncak karier NU di pentas politik.










Rabu, 19 September 2012

MAKNA MANHAJ DAN AHLUSSUNNAH

Bagian I
MAKNA MANHAJ DAN AHLUSSUNNAH

I. Makna Manhaj
Secara bahasa kalimat "manhaj" berasal dari kata - nahaja- yang berati jalan yang terang [1] .Bisa juga berarti jalan yang ditempuh seseorang, Allah I berfirman:
"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang". [2]
Ibnu Abbas t berkata:
والله ما مات رسول الله حتى ترك السبيل نهجا واضحا
"Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang jelas" [3] 

Adapun manhaj yang dimaksud di sini adalah jalan hidup Rasulullah e yang kemudian dilalui oleh para sahabat, tabi'in dan pengikutnya dalam kebenaran sampai hari kiamat, sebagaimana firman Allah I : 

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [4]

II. Makna Ahlussunnah wal jamaah.
Kata "Ahlussunnah" terdiri dari dua suku kata yaitu ahlu yang berarti keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan. Dan kata Sunnah yang berarti apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat , agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiyamat. [5]
Namun dalam perspektif syariah (fiqh) kata sunnah sering diartikan dengan Perbuatan yang kalau dilakukan mendapat pahala, dan kalau ditinggalkan tidak mendapat dosa. Namun yang dimaksud dengan As-Sunnah "di sini adalah adalah," Thariqah (jalan hidup) Nabi r yang juga dilalui oleh para shahabat yang telah selamat dari syubhat dan syahwat ". Fudhail bin Iyadh berkata, "Ahlus Sunnah adalah orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal" [6] .
Karena tidak memakan yang haram termasuk salah satu sunnah yang dilakukan Nabi rdan para shahabat.
Dengan demikian maka Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah r dan sunnah shahabatnya. Imam Ibnul Jauzi berkata, "Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar Rasulullah r dan atsar para shahabatnya adalah Ahlus Sunnah " [7] .
Adapun kata jamaah berarti bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari sahabat, tabiin dan ulama-ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari Kiyamat.
Sedangkan menurut istilah, dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, "Ahlussunnah wal jamaah adalah orang yang mengamalkan sunah Rasulullah dan berkumpul di dalamnya dengan beribadah kepada Allah baik dalam masalah aqidah (keyakinan), kata, perbuatan, dan panutannya adalah Shalafusshalih dari sahabat , tabiin dan pengikut tabiin ".
III. Kreteria Ahlussunnah wal jamaah
DR. Nashr Al-aql dalam kitabnya " Mafhum Alhlussunnah inda Ahllussunnah ", menyebutkan beberapa kreteria Ahlussunnah wal jamaah di antaranya;
  1. Mereka adalah sahabat Rasulullah yang mengerti, melihat dan mengamalkan sunnah Rasullullah pertama kalinya, oleh sebab itulah mereka berhak mendapat gelar demikian. Begitu juga para tabiinyang mengambil sunnah dari sahabat dan mengamalkannya tanpa menambah dan menguranginya. Dan juga para pengikut tabiin dan orang-orang setelahnya sampai hari kiyamat yang berusaha mencontoh dan mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah.
  2. Ahlussunah adalah para Salafusshalih yang mengamalkan Kitab dan Sunah sesuai dengan petunjuk Rasulullah [8] , Yang mengikuti teladan para sahabat, tabiin dan ulama-ulama yang tidak pernah merubah dan membuat hal-hal yang baru dalam agama Allah.
  3. Ahlussunnah wal jamaah adalah firqatunnajiyah (golongan yang selamat) di antara golongan-golongan yang ada. Yang selalu mendapatkan pertolongan dari Allah sampai hari kiyamat. [9]
  4. Mereka adalah orang-orang yang ghuraba ' (asing) karena tetap berpegang kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dalam keadaan yang orang lain melupakandan meninggalkannya. Mereka juga memperjuangkan tegaknya As-Sunnah di saat tersebarnya bid'ah dan kesesatan dan kerusakan,sebagaimana sabda Nabi e , " Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana semula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing " [10] . Dalam riwayat lain disebutkan, " Beruntunglah al-Ghuraba 'yaitu orang yang shalih di tengah manusia yang jahat, orang yang mengingkarinya lebih banyak dari yang mengikutinya "[11] .
  5. Dinamakan Ahlussunnah karena mereka mengamalkan sunah sebagaimana mestinya.Berdasarkan sabda Nabi e "Amalkanlah sunnahku"[12] .
    Penamaan Ahlussunnah dilakukan setelah terjadinya fitnah pada awal munculnya firqah-firqah. Ibnu Sirin berkata, "Mereka (pada awalnya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Mereka melihat bila ia termasuk Ahlus Sunnah hadits mereka diambil, dan bila termasuk ahlul bi'dah maka hadits mereka tidak di ambil ". [13] 

    Al-Imam Malik pernah ditanya: "Siapakah Ahlus Sunnah itu?. Beliau menjawab," Ahlussunnah adalah mereka yang tidak memiliki laqab (julukan) yang sudah terkenal seperti Jahmi, Qadari, atau Rafidli ". [14] 

    Istilah Ahlus Sunnah sudah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) sebagai kebalikan dari istilah Ahlul Ahwa 'wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Ahlus Sunnah adalah orang yang tetap berpegang pada sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah e dan para shahabatnya Jadi gelar Ahlussunnah bukanlah hal-hal yang muhdats (dibuat-buat baru), tetapi memiliki cadangan syar'I yaitu:
  1. Sunnah Rasulullah e karena beliau memerintahkan untuk mengamalkan sunnahnya. Danmemerintahkan untuk berjama'ah dan melarang untuk berpecah belah dan keluar darinya. Jadi Ahlussunnah adalah gelar yang diberikan langsung oleh Rasulullah e .
  2. Bersumber dari atsar para sahabat dan generasi terbaik umat ini dari sifat mereka yang telah disepakati oleh para ulama umat yang mereka tulis dalam kitab-kitabnya.
  3. Sebuah nama yang dipakai untuk membedakan mereka dengan pelaku bid'ah, bukan seperti yang dituduhkan bahwa istilah ahlussunah tidak muncul kecuali setelah terjadi perpecahan di antara umat Islam.

IV. Apakah mereka terbatas hanya pada satu waktu dan tempat?. 
Ahlussunnah tidak hanya terbatas pada satu priode dan tempat. Tetapi terkadang mereka lebih banyak di suatu tempat atau waktu dan berkurang di masa atau tempat yang lain. [15] 
Beberapa karakteristik dari Ahlussunah yang disebutkan sendiri oleh para Salafusshalih adalah;

1. Mereka yang berpegang pada tali Allah yang kuat.
Abu Bakar al-Shiddik t berkata, "As-Sunnah adalah tali Allah yang kuat, barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah memutus talinya Allah" [16] , Umar bin al-Khattab t menambahkan, "Sesungguhnya Ashabussunan (praktisi sunnah) itu lebih mengetahui tentang Kitabullah " [17] .

2. Mereka adalah teladan baik yang mengajak ke jalan yang benar.
Umar bin Qais al-Malaiy (wafat tahun 143 H)berkata, "Ketika Anda melihat seorang pemuda yang tumbuh dewasa bersama Ahlussunnah maka peliharalah, dan kalau besar bersama pelaku bid'ah maka jagalah dirimu darinya. Karena sifat seorang akan tumbuh dewasa sesuai dengan masa kanaknya " [18] . Dalam kitab kitab yang sama ditambahkan, "Sesungguhnya pemuda saat bergaul dengan orang alim maka akan selamat, tetapi apabila bergaul dengan yang lainnya maka akan terpengaruh [19] Ibnu Syaudzab (wafat tahun 120 H) berkata, "Termasuk nikmat Allah kepada pemuda apabila dewasa diberikan taufik untuk bergaul dengan pelaku sunnah" [20] .
Demikian juga yang dikatakan oleh as-Sahityani (wafat tahun 131 H), "Termasuk kebahagiaan bagi seorang apabila diperkenankan oleh Allah untuk bergaul dengan Ahlussunnah"[21] . Dan dari Ibnu Abbas diriwayatkan ketika menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 106 ia mengatakan, "Adapun orang yang putih mukanya adalah Ahlussunnah wal Jamaah, dan orang yang hitam mukanya adalah ahli bid'ah dan kesesatan" [22] .

3. Mereka tidak mau diberi gelar dan atribut kecuali dengan nama Ahlussunah.
Barang siapa yang bergabung pada kelompok yang bukan Ahlussunah maka akan mendapatkan kerugian dan kebinasaan karena Ahlussunah-lahgolongan yang selamat karena mendapatkan pertolongan dari Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah jalannya orang-orang yang mukmin. Ibnu Abbas berkata, "Barang siapa yang mengikuti kelompok-kelompok pelaku bid'ah ini maka dia telah melepaskan ikatan Islam dari dirinya." [23] . Ketika Imam Malik ditanya siapakah Ahlussunnah itu?, beliau menjawab, "Mereka orang yang tidak memiliki nama lain atau identitas yang dikenal dengannya seperti Jahamiy (pengikut kelompok Jahamiyah),Rafidhiy (pengukut Rafidhah) atau Qadhariy(pengikut Qadariyah) " [24] .
Begitu juga jawaban Ibnu Al-Qayyim ketika ditanya tentang Ahlussunnah beliau berkata, "Sesuatu yang tidak memiliki nama kecuali Ahlussunnah" [25] . Malik bin Maglul lebih tegas lagi mengatakan, "Bila ada seorang menamakan dirinya dengan bukan Islam dan As-Sunnah maka masukkanlah dia pada agama apapun yang kamu inginkan[26] . Maka Maimun bin Mahran sarankan untuk jangan sekali-kali menyebut dirinya dengan nama selain Islam " [27].
Referensi:
  1. Muzilul Ilbas fi al-Ihkam 'ala an-Naas, editor Syaikh Sa'd bin Shabir Abduh.
  2. Ta'rif al-Khalaf bi Manhaj al-Salaf, DR.Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan
  3. Al-Minhaj baina al-Ishalah wa al-Tagrib, DR.Muhammad bin Shalih Ali Jan

Bagian II
Manhaj Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah

Ahlussunnah adalah jama'ah yang dimaksud oleh Rasulullah e dalam sabdanya, " Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka sampai datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta ' la), sedang mereka tetap dalam kondisi yang demikian ". [28

 Ahlussunnah adalah al-firqotun najiyah,yang pada masa Rasulullah e mereka adalah umat yang satu sebagaimana firman Allah I , "Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku ". [29]
Orang Yahudi dan Munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada masa Rasulullah, namun belum pernah berhasil, sebagaimana firman Allah,
segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya): (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada awal siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran ". [30]
Namun Rasulullah e memberitahukan akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sebagaimana sabda beliau, " Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa'rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku ". [31]
Dan sabda beliau e , " Telah terpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan; dan telah terpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..?; Beliau menjawab: yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini ". [32]
Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari kesesatan, maka kita perlu mengetahui nama-nama dan ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Di antara nama-namanya adalah: Al-Firqotun Najiyah(kelompok yang selamat), Ath-Thooifatul Manshuroh(golongan yang ditolong), dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Kelompok ini adalah yang selamat dari api neraka sebagaimana sabda Nabi e , " Seluruhnya di atas neraka kecuali satu (Maksudnya yang tidak masuk ke dalam neraka adalah satu).
Kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal awwalun (para pendahulu) dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Rasulullah bersabda, " Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa -apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini ".
Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting;
pertama , berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemilik sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang berpegang pada pendapat, hawa nafsunya sehingga dinisbahkan kepadanya seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji'ah. Atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah, atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij.
Kedua, mereka adalah Ahlul Jama'ah karena mereka bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan.
Mereka adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya dalam menolong agama Allah, sebagaimana firman-Nya,
Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka ". [33]
Rasulullah e bersabda, " Tidak ada yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu membahayakan mereka sampai datang keputusan Allah sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian ".
Di antara prinsip dan manhaj Ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai berikut:
Prinsip Pertama : Beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir-Nya.
Beriman kepada Allah I artinya meyakini Rububiyyah Allah, uluhiyyah-Nya dan Asma wa-Sifat-Nya. Allah I berfirman,
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [34]
Juga firman Allah I ,
Dan Allah memiliki nama-nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya ". [35]
Beriman kepada Para Malaikat-Nya yakni membenarkan adanya para malaikat dan mereka adalah mahluk mahluk Allah yang diciptakan dari cahaya. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan perintah Allah di dunia. Allah I berfirman, " Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya ".[36]
Iman kepada Kitab-kitab-Nya Yakni membenarkan adanya kitab Allah dan segala isinya berupa hidayah (petunjuk) dan ia diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Dan yang paling agung diantara sekian kitab tersebut adalah Al-Qur'an, karena ia sendiri merupakan mukjizat dari Allah. Allah berfirman,
Katakanlah (Hai Muhammad): "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu".[37]
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani Al-Qur'an kalam (firman) Allah, bukan makhluq baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan Mu'tazilah yang mengatakan Al-Qur'an makhluk baik huruf maupun maknanya.Juga berbeda dengan Asyaa'irah yang mengatakan kalam (firman) Allah hanyalah artinya, sedangkan huruf-hurufnya adalah mahluk. Kedua pendapat tersebut bathil berdasarkan firman Allah,
Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur'an) ". [38]
Iman Kepada Para Rasul yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang disebutkan namanya oleh Allah maupun yang tidak. Dan penutup para nabi adalah nabi Muhammad, tidak ada nabi sesudahnya. Termasuk beriman kepada para rasul adalah tidak menyepelekan mereka dan tidak berlebihan terhadap mereka seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, Allah I berfirman,
Dan orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair itu anak Allah; dan orang-orang Nasharani berkata:' Yesus Kristus itu anak Allah ... ". [39]
Sebaliknya orang-orang sufi dan ahli filsafat telah menghina para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. tetapi Ahlussunah tidak membeda-bedakan antara semua Rasul, sebagaimana firman Allah,
Kami tidak membeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya .... ". [40]
Iman Kepada Hari Akhirat yakni membenarkan semua yang diberitakan oleh Allahdan Rasul-Nya tentang pristiwa setelah kematian seperti adzab dan nikmat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hisab (perhitungan), mizan(ditimbangnya) segala perbuatan dan pemberian buku catatan amal dengan tangan kanan atau kiri,jembatan (sirat), serta Surga dan Neraka. Keimanan yang membuat siap dengan praktek sholeh dan meninggalkan praktek jelek dan serta bertobat dari dosa. Berbeda dengan orang-orang musyrik dandahriyyun yang mengingkari adanya hari kiamat, atau orang Yahudi dan Nashara yang tidak mengimaninya dengan benar, Allah berfirman,
Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata Sekali-kali tidaklah masuk Surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara.Demikianlah angan-angan mereka ...... ". [41]
Juga firman Allah I ,
Dan mereka berkata: Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja ". [42] .
Iman kepada taqdir maksudnya meyakini bahwasanya Allah mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, menulisnya dalam Lauhul Mahfudz. Segala sesuatu yang terjadi berdasarkan telah dikehendaki dan diciptakan oleh Allah. Allah mencintai keta'atan dan membenci kemaksiatan. Manusia memiliki kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih pekerjaan yang mengantar mereka pada ketaatan atau kemaksiatan, tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan Jabariyah yang mengatakan manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan. Sebaliknya Qodariyah mengatakan hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan dialah yang menciptkan pekerjaannya.Kemauan dan kehendaknya terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Allah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya,
Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya ". [43]
Prinsip Kedua , iman itu kata, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kema'siatan.
Iman bukan hanya kata dan perbuatan tanpa keyakinan sebab itu merupakan keimanan kaum munafiq. Bukan pula sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman,
Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu " [44] .
Iman juga bukan sekedar keyakinan dalam hati atau kata tanpa perbuatan karena yang demikian adalah keimanan Murji'ah. Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana firman-Nya ,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang saat disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka.Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ... " [45]
Juga firman Allah,
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian " [46]
Prinsip Ketiga : Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelakunya tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Bila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Allah berkehendak Dia akan mengampuninya, atau menghukumnya namun tidak kekal di neraka, sebagaimana firman Allah,
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar ". [47]
Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya. Mereka mengatakan dosa dan ketaatan tidak berpengaruh pada iman.
Prinsip Keempat : Wajib ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama tidak memerintahkan untuk kema'shiyatan.
Bila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka dilarang menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran yang lainnya, Allahberfirman,
Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ... " [48]
Diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyyah, Rasulullah e bersabda , "Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".
Ahlus Sunnah wal Jama'ah menentang seorang amir (pemimpin) yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasulullah e , sebagaimana sabdanya, " Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku ". [49]
Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para pemimpin yang zalim dan menasehati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.
Prinsip Kelima : Haramnya memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin ketika mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur.
Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berbeda dengan Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari pemimpin yang melakukan dosa besar meskipun belum termasuk praktek kafir dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Padahal sebenarnya tindakan mereka itu termasuk kemunkaran yang besar karena menimbulkan bahaya yang besar bagi umat.
Prinsip Keenam : Tidak mencela dan membenci para sahabat Rasulullah.
Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar, sebagaimana firman Allah I, " Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan: Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang ". [50]
Rasulullah e bersabda, " Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya " .[51]
Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in .Barangsiapa yang mencela salah satu di antara mereka, maka dia lebih sesat dari keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka. Berbeda dengan sikap ahlul bid'ah dari kalangan rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Prinsip Ketujuh : Mencintai Ahlul bait (keluarga) Rasulullah e .
Hal ini sesuai dengan wasiat Rasul dengan sabdanya, " Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku ". [52]
Termasuk Ahlul bait adalah keluarga Rasulullah yang beriman dan juga istri-istrinya yang menjadi ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhuma wa ardhaahuma, yang telah disucikan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya,
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya ". [53]
Prinsip Kedelapan : Membenarkan adanya karomah para wali Allah.
Karomah yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui sebagian mereka, berupa sesuatu yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditampilkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.Berbeda dengan Muktazilah dan Jahamiyah yang mengingkari adanya karomah. Padahal mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.
Namun sebagian orang pada zaman sekarang tersesat dalam masalah karomah, mereka berlebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah seperti jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya adalah karomah merupakan kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh dan bersumber dari Allah semata. Sedangkan sihir adalah kejadian yang luar biasa yang diperlihatkan para tukang sihir dan orang-orang kafir dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka dan bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan.
Prinsip Kesembilan : Dalam berdalil selalu mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah e baik secara lahir maupun bathin sesuai dengan pemahaman Salafussalih.
Hal ini sesuai dengan wasiat Rasulullah e , "Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk ".
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan kata siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah.Setelah itu mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Segala hal yang diperselisihkan selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, sebagaimana firman Allah,
Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya ". [54]
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut disesuaikan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak bisa berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul 'ilmi.Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak bisa menimbulkan permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), dan tetap saling mencintai satu sama lain. Sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapapun perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka.Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golonganmereka.
Prinsip kesepuluh : Prinsip-prinsip di atas membuat mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
Diantara sifat-sifat mulia tersebut adalah mereka beramar ma'ruf dan nahi mungkarsebagaimana firman Allah I , " Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah ". [55]
Rasulullah e bersabda, " Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman ". [56]
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tetap menjaga tegaknya syi'ar Islam dengan menegakkan shalat Jum'at dan shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap ahlul bid'ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun shalat Jama'ah.
Mereka juga menegakkan nasehat untuk setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi, " Agama itu nasehat, kami bertanya: untuk siapa.? Beliau menjawab: Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya ". [57]
Mereka juga tegar dalam menghadapi tes-tes dan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.
Singkatnya mereka selalu berahlak mulia dan berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sebagaimana firman Allah,
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri ". [58]
Rasulullah e bersabda, "Sesempurna-sempurna iman seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya". [59]
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita semua menjadi bagian dari mereka. shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad e , keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.

Disarikan dari buku " Prinsip-Prinsip 'Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah " Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Terj. Abu Aasia, terbitan Dar Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh.


BAGIAN III

Manhaj Ibadah Ahlussunnah wal Jamaah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
أهل السنة يعبد الله, لله, بالله, وفي الله
Ahlussunnah beribadah kepada Allah, karena Allah, dengan pertolongan Allah dan dalam agama Allah ".
Ahlussunnah ya'budullah (beribadah kepada Allah) lillah maksudnya adalah ikhlas kepada Allah semata untuk mencari ridha-Nya. Mereka tidak beribadah kepada Allah supaya dilihat, dipuji orang dan agar digelari seorang ahli ibadah. Dari Amirul Mu'minin Abu HafshUmar bin Khothob berkata, "Saya mendengar Rosululloh r bersabda, "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung dari apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah ke dunia yang dia cari atau wanita yang dia ingin nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya ." [60]
Adapun billah maksudnya meminta tolong kepada Allah. Seorang tidak akan mungkin bisa beribadah kepada Allah dengan sendirinya, tetapi ia meminta pertolongan kepada Allah sebagaimana firman Allah:
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan " [61]
Adapun fillah yaitu pada agama Allah yang disyariatkan melalui Rasulullah tanpa ditambah dan dikurangi. Mereka tidak keluar dari agama Rasulullah, mereka bersihkan ibadah mereka dari kesyirikan dan bid'ah sebagaimana firman Allah:
Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus . [62]
Ibadah mereka bukan didorong oleh nafsu dan akalnya, akal yang sehat tidak akan memungkinkan seorang mukmin untuk keluar dari syariat Allah. Karena berpegang pada syariat Allah termasuk bagian dari akal yang sehat. Itulah sebabnya Allah menyebut orang-orang yang mendustakan Rasulullah sebagai orang yang tidak berakal, sebagaimana firman-Nya:
Tetapi kebanyakan mereka tidak berakal " [63]
Seandainya kita beribadah kepada Allah menurut nafsu kita, niscaya akan terjadi perpecahan dan pengelompokan yang setiap orang menganggap baik pendapatnya untuk beribadah kepada Allah. lihatlah mereka yang beribadah kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang bid'ah yang tidak disyariatkan oleh Allah, bagaimana antar mereka saling membenci dan saling menyalahkan. Mereka mengkafirkan orang lain dengan sesuatu yang sebenarnya mereka tidak kafir tetapi hawa nafsunya yang membutakan mereka.
Seandainya kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat Allah, bukan dengan hawa nafsu niscaya kita akan menjadi satu umat.Karena syariat Allah adalah petunjuk bukan udara kita. sebagian ahli bid'ah yang melakukan bid'ah dalam masalah aqidah atau amal, berdalil dengan sabda Nabi:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلي يوم القيامة
Barangsiapa yang membuat teladan yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat " [64]
Kita mengatakan kepadanya, "Apakah yang Anda anggap baik dalam bid'ah ini tidak diketahui oleh Rasulullah?. Atau ia mengetahuinya tetapi menyembunyikannya sehingga tidak ada kalangan salaf yang mengetahuinya, kemudian ia simpan untuk Anda?.
Ketika mereka mengatakan, " Sesungguhnya Rasulullah tidak mengetahui kebaikan bid'ah ini sehingga beliau tidak ajarkan ". Kita menjawab, "Anda telah menuduh Rasulullah dengan sangat keji yaitu bodoh terhadap agama Allah dan syariat-Nya ". Bila mereka mengatakan, " Rasulullah mengetahuinya, tapi tidak menyampaikannya kepada orang lain ". Ini tuduhan yang lebih keji, Anda menganggap Rasulullah seorang yang bergelar " al-Amin "(amanah), seorang pengkhianat dan tidak mengajarkan pengetahuannya.
Bisa juga mereka berkata, " Rasulullah mengetahuinya, mengajarkannya tapi belum sampai kepada kita ". Kita mengatakan kepada mereka bahwa Anda telah melawan firman Allahyang menyebutkan:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
Sesungguhnya kami menurunkan Al-dzikr dan Kami yang akan menjaganya ". [65]
Bila syariat Allah hilang sehingga tidak sampai kepada kita, artinya Allah tidak menjaga syariat-Nya, bahkan kurang dalam menjaganya sehingga hilang sebagian dari yang ada dalam Al-Qur'an.
Kesimpulannya , setiap orang yang melakukan bid'ah dalam masalah agamanya baik dalam aqidah atau ibadah berupa ucapan maupun perbuatan, maka dia adalah orang yang sesat, sebagaimana sabda Nabi:
كل بدعة ضلالة
Setiap bid'ah adalah sesat "
Hadits ini umum mencakup setiap bidah dalam masalah agama, ia sesat dan tidak ada kebaikan di dalamnya, Allah berfirman:
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran) ". [66]
Adapun hadits Rasulullah e " Barangsiapa yang membuat teladan dalam Islam "tidak menjelaskan tentang bid'ah, karena semua yang bukan ajaran Rasulullah tidak termasuk dari Islam.Itulah sebabnya ditambahkan dengan " sunnah yang baik "karena ia termasuk yang diakui oleh Islam.
Sababul Wurud (Sebab munculnya) hadits tersebut menunjukkan bahwa maksudnya adalah segera untuk mengamalkan sunnah. Sekelompok orang faqir datang kepada Rasulullah, kemudian beliau menganjurkan orang untuk bersedekah kepada mereka. seorang dari Anshar datang dengan membawa sekeranjang korma kemudian memberikan kepada orang-orang tersebut. Dan orang-orang mengikutinya. Maka Rasulullah bersabda dengan hadits di atas.
Dengan demikian maksudnya bukan membuat syariat baru, tetapi mengamalkannya, menjadi teladan dalam menerapkannya di hadapa orang sehingga ia menjadi teladan yang baik dan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.
Sebagian ahli bidah berhujjah dengan kaidah itu sebuah sarana untuk kebaikan seperti mengumpulkan al-Qur'an, mendirikan sekolah dll, yang hanya sebagai sarana bukan tujuan.
Ada perbedaan antara sesuatu yang menjadi sarana untuk tujuan baik yang ditetapkan oleh syariat, tetapi tidak bisa terwujud kecuali dengan melakukan sarana tersebut, dan sarana ini berkembang seiring perkembangan zaman, misalnya firman Allah:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi ". [67]
Persiapan kekuatan di zaman Rasulullah berbeda dengan persiapan kekuatan di zaman kita.Maka bila kita melakukan suatu perbuatan yang merupakan persiapan kekuatan, maka ia bid'ah sarana bukan gayah (tujuan) yang seseorang beribadah kepada Allah dengannya. Kaidah yang sudah disepakati menyebutkan, " Anna Lil Wasaa'il Ahkaam al-Maqashid ", (Sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya). Semua yang dilakukan adalah saran untuk tujuan yang terpuji.
Mengumpulkan Al-Qur'an dan mencetaknya merupakan sarana untuk tujuan yang disyariatkan. Hendaknya dibedakan antara sarana dan tujuan. Sesuatu yang sendirinya merupakan sebuah tujuan, maka ia telah disyariatkan oleh Allah dan diwahyukan kepada Rasulullah sebagaimana firman Allah:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu ", [68]
Seandainya praktek bid'ah merupakan penyempurna syariat, niscaya sudah disyariatkan, dijelaskan dan disampaikan dan dijaga. Ia bukan menyempurnakan syariat bahkan ia menguranginya.
Sebagian orang mengatakan bahwa dalam perbuatan bidah tersebut bisa membersihkan hati, semangat beragama dan lainnya. kita katakan bahwa Allah telah memberitahu kita bahwa Setan bersumpah:
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan mereka bersyukur (taat)". [69]
Setan memperindah di hati manusia untuk memalingkan mereka dari ibadah kepada Allah.Rasulullah telah mengingatkan bahwa setan masuk ke dalam diri manusia seperti darah yang mengalir. Dan ini sesuai dengan firman Allah I :
Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah "[70]
Allah menjadikan setan berkuasa pada orang-orang yang berpaling dari Allah dan menyekutukan-Nya. Dan setiap orang yang menjadi pengikut bidah di dalam agama Allah, maka ia telah menyekutukan Allah dan menjadikan orang yang diikuti ini sebagai sekutu Allah dalam masalah hukum. Padahal hukum syar'i itu hanya milik Allah sebagaimana firman-Nya:
Hasil itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia ", [71] .
Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kita kepada Allah kecuali dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah lewat Rasul-Nya. " Allah memiliki sifat yang Maha Tinggi " [72] , seandainya seorang raja menentukan sebuah pintu untuk masuk menemuinya dan berkata, "Barangsiapa yang ingin menemui saya, maka hendaknya masuk lewat pintu ini". Bagaimana pendapat Anda bila ada orang yang ingin menemui raja lewat pintu lain, apakah ia bisa bertemu dengannya?.
Allah telah menentukan jalan khusus untuk menemui-Nya yaitu jalannya Rasulullah, yang tidak mungkin seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan menempuh jalan Rasulullah.
Penghormatan kepada Rasulullah dan termasuk adab kepada beliau adalah mengerjakan apa yang ia kerjakan dan meninggalkan apa yang beliau tinggalkan. Kita tidak mendahului beliau dalam agamanya, mengatakan dalam agamanya yang ia tidak pernah katakan da mengadakan suatu ibadah yang tidak pernah beliau syariatkan.
Apakah termasuk mencintai Rasulullah seorang yang mengada-ada dalam masalah agama, padahal beliau bersabda, "Setiap bid'ah itu sesat".Juga beliau bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama maka ia tertolak". Apakah ini merupakan kecintaan kepada Rasulullah?Dengan membuat syariat dalam agama Allahsesutu yang tidak pernah disyariatkan?. Allah Iberfirman:
"Katakanlah," Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ". [73]

Diterjemahkan dari " Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah-Thariqatu Ahlussunah fi Ibadatillah "karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Bagian IV
Manhaj Akhlak Ahlussunnah wal Jamaah

Allah Mengutus Muhammad sebagai pembawa hidayah agama yang haq dan penyempurna Akhlak. Allah I berfirman,
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama agama meskipun orang-orang musyrik benci ". [74]
Allah mengutus Muhammad kepada jin dan manusia, seluruh penduduk dunia sebagai rahmatan (karunia) dan imaman (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa. Mengajarkan dan memahamkan manusia tentang agama-Nya, menjelaskan penyebab keselamatan dan kebinasaan hidup di dunia dan di akhirat, Allah mengutusnya dengan Dienul Islam. Ia membawa kabar yang benar, ilmu yang bermanfaat, syari'at yang lurus serta hukum-hukum yang adil. Allah mengutusnya untuk menyerukan kepada seluruh kebaikan dan mencegah kejahatan, menyerukan akhlak yang mulia dan pebuatan yang baik serta mencegah rendahnya akhlak dan buruknya amal perbuatan. Allah berfirman,
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh umat sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan ". [75]
Juga firman Allah, " Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam ". (Al-Anbiya ': 107).
Akhlak yang paling agung adalah beribadah kepada Allah, Allah berfirman,
Hai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa ". [76]
Juga firman Allah,
Beribadahlah kepada Allah dan janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu ". [77]
Allah berfirman,
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali kepada-Nya ... "[78]
Kemudian berakhlak kepada Rasulullah dengan mengikuti sunnah beliau, Allah berfirman,
Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa ". [79]
Kita berdoa kepada Allah untuk ditampilkan " Shiratal Mustaqim ", Allah berfirman,
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat ". [80]
Pengertian Ash-Shirath Al-Mustaqim adalah dienullah, yaitu Al-Islam, Al-Iman, ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Ia adalah jalannya orang-orang yang mendapat nikmat dari kalangan ahlul ilmi dan amal, mereka adalah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta pendahulu dari kalangan Rasul beserta pengikutnya. sebagaimana firman Allah,
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shidiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya ". [81]
Wajib bagi setiap muslim untuk mendalami Kitabullah, dan mempelajari Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta istiqamah padanya. Di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, tercantum penjelasan tentang perintah-perintah dan larangan yang dibawa dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alihi wa sallam. Dan di dalamnya terdapat penjelasan tentang akhlak mulia yang dipuji oleh Allah sebagai akhlak mukminin dan mukminat. Di antara firman Allah yang memuat akhlak mulia adalah surat Al-Furqan: 63-77. Allahbefirman:
Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (adalah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keamanan ". [82 ]
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka . [83]
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Rabb kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasan yang kekal ". [84]
Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman . [85]
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian . [86]
Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)[87]
(Yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina , [88]
kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan.Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . [89]
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya[90]
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya . [91]
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta . [92]
Dan orang-orang yang berkata:
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa . [93]
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya ,[94]
Allah juga berfirman,
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim , orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa ", [95]
Dan di antara akhlak yang ketiga adalah akhlak kepada diri sendiri, dengan memberikan hak-haknya seperti hak mata untuk tidur, badan untuk istirahat dan lainnya. juga menjauhkan tubuh dari hal-hal yang membahayakan baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Agar badan mendapatkan ketenangan di dunia maka dengan menentramkan hati lewat dzikrullah, Allahberfirman,
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram . [96]
Dan keamanan badan di akhirat dari azab Allah dengan bertobat dari segala dosa dan kesalahan.
Semua bentuk akhlak pada terangkum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Jundub bin Junadah Rasulullah bersabda:
اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن
Bertakwalah kepada Allah di mana saja berada.Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan (bertobat) niscaya kebaikan akan menghapus kejelekan.Dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang baik " [97]

Semoga Allah mengaruniai kita akhlak yang terpuji dan menghindarkan kita dari akhlak tercela, amin!.
Disarikan dari buku, " Akhlaqul Mukminn wal Mukminat, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terj. "Akhlak Salaf, Mukminin & Mukminat, oleh Ihsan, (Solo: Pustaka At-Tibyan). (Abu Athiyah).

Bagian V
Manhaj Dakwah Ahlussunnah wal Jamaah

Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah jalan yang ditempuh Rasulullah e dan pengikut-pengikutnya, sebagaimana Allah Iberfirman, "Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [98] 

Dakwah kepada Allah merupakan tugas utama para Rasul dan seluruh pengikutnya, untuk mengeluarkan manusia dari kekufuran menuju keimanan, dari kesyirikan menuju tauhid dan dari neraka menuju Surga. Dakwah tersebut ditopang dengan tiang-tiang yang didirikan diatas pondasi, jika salah satunya saja binasa maka dakwah tersebut tidaklah berjalan dengan benar dan tidak pernah membuahkan hasil yang diinginkan, meskipun dengan jerih payah yang amat sangat dan menghabiskan banyak waktu. Sebagaimana yang terjadi pada sebagian besar dakwah-dakwah modern masa kini yang tidak dilandasi dengan tiang-tiang dan juga tidak berdiri di atas pondasi tersebut. Adapun tiang-tiang yang menopang dakwah yang benar adalah seperti yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, ringkasnya sebagai berikut:

Pertama , mengetahui apa yang didakwahkan.
Maka seorang yang bodoh tidak layak menjadi da'i, Allah berfirman,
"Katakanlah:" Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik ". (QS. Yusuf: 108 ).
"Bashirah" maksudnya adalah ilmu, karena seorang da'i akan menghadapi ulama yang sesat dan berbagai syubhat (ambiguitas), mereka membantah agar kebatilan bisa mengalahkan kebenaran, Allah berfirman:
"... Bantahlah mereka dengan cara yang baik." [99]
Nabi e bersabda kepada Mu'adz t : "Kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab ..." .Jika seorang da'i tidak berbekal ilmu yang dapat digunakan untuk menghadapi setiap syubhat, maka ia akan kalah di awal pertandingan atau terhenti di tengah jalan.

Kedua , Mengamalkan apa yang didakwahkan.
Seorang da'i menjadi teladan yang baik, tindakan sesuai dengan ucapannya sehingga tidak membuah celah untuk orang-orang untuk menghinanya, Allah berfirman tentang nabi-Nya Syu'aib yang berkata kepada kaumnya:
Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan ".[100]

Ketiga , Ikhlas
Dakwah yang dilakukan hendaknya benar-benar mengharap ridha Allah, bukan untuk dipuji orang atau agar diangkat menjadi pemimpin atau demi keinginan duniawi semata, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah tentang nabi-nabi-Nya, bahwasanya mereka mengatakan, " Aku tidak meminta kepadamu balasan ". Juga, "A ku tidak meminta kepadamu harta ".

Keempat , Memulai dari sesuatu yang terpenting, Hendaknya pertama kali yang didakwahkan adalah masalah akidah dengan memerintahkan beribadah kepada Allah semata dan melarang syirik kemudian memerintahkan untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan sebagaimana jalan yang dilakukan oleh semua rasul, Allah berfirman "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".[101]
Juga firman Allah: " Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". [102]
Ketika Nabi e mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau berkata:


إنك تأتي قوما من أهل الكتاب, فليكن أول ماتدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله فإن هم أجابوك فاعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلاوات في اليوم و الليلة .....الحديث

Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab maka jadikanlah hal yang utama engkau seru kepada mereka adalah syahadah (persaksian) bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan jika mereka menjawab seruanmu maka katakan pada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu di dalam setiap harinya ........ . "Hadits.
Manhaj Rasulullah e dalam berdakwah menjadi teladan yang baik dan yang paling sempurna ketika ia tinggal di Mekah selama 13 tahun mengajak manusia kepada tauhid dan melarang mereka berbuat kesyirikan sebelum beliau memerintahkan mereka shalat, zakat, puasa, dan haji dan sebelum beliau melarang mereka dari perbuatan riba , zina, mencuri, membunuh jiwa tanpa haq.

Kelima , Bersabar dalam menghadapi rintangan di jalan dakwah, Jalan dakwah tidaklah ditaburi bunga-bunga melainkan penuh dengan suatu yang tidak menyenangkan dan penuh dengan bahaya, sebagaimana yang terjadi pada para Nabi dan Rasul sebelumnya. Allah berfirman,Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah ke orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka. " [103]
Dan Allah berfirman:"Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan ​​dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka." [104] 

Keenam , Berakhlak yang baik dan bijaksana dalam berdakwah Akhlak mulia merupakan sebab utama diterimanya dakwah sebagaimana Allah memerintahkan dua Nabi-Nya yang mulia Musa dan Harun u agar mereka bijaksana dalam menghadapi orang yang paling kafir di muka bumi ini yaitu Fir'aun yang mengaku sebagai tuhan, Allah berfirman, 
 "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut ". [105]
Firman Allah juga pada Musa u :
"Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun):" Apakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan) "[106] 
Allah juga berfirman, tentang sikap yang harus dimiliki oleh Nabi kita Muhammad e : 
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Jika kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. " [107]
Allah juga berfirman: " Sesungguhnya kamu memiliki akhlak yang mulia ". Allah juga berfirman:"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." [108] 

Ketujuh , Seorang da'i harus memiliki rasa optimis
Seorang dai tidak mudah putus asa dalam dakwahnya atau mengharapkah hidayah atas kaumnya, seraya selalu mengharap pertolongan dan perlindugan dari Allah, meskipun waktu yang telah ditempuhnya sangatlah lama, karena pada rasul-rasul Allah adalah contoh yang demikian itu.
Misalnya nabi Nuh u yang mendakwahi kaumnya selama 950 tahun. Dan demikian pula Rasulullah e ketika mendapat gangguan orang-orang kafir yang semakin berat, ia didatangi oleh malaikat gunung yang menawarkan untuk melempar mereka dengan bebatuan. Rasulullah berkata: " Jangan, tetapi aku akan bersikap perlahan-lahan mengalami mereka semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka seorang keturunan yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatupun ".
Jika seorang da'i telah kehilangan sifat optimisnya, maka ia akan berhenti di tengah jalan dan gagal dalam menjalankan tugasnya.
Dan setiap dakwah yang tidak di bangun di atas manhaj para rasul ini, maka dakwah tersebut akan gagal, sehingga hanya melelahkan dan tidak ada faedahnya. Seperti jama'ah-jama'ah dakwah yang ada sekarang ini yang telah salah memilih manhaj dakwah dengan menyelisihi manhaj dakwah para Rasul. Mereka lalai dalam mendakwahkan akidah, sehingga mereka lebih mementingkan masalah-masalah yang sifatnya cabang (sekunder).
Sebagian jama'ah-jama'ah tersebut menyeru pada perbaikan hukum dan politik dan menuntut agar dilaksanakan hukum pidana dan diterapkannya syariat Islam dalam bentuk hukum di tengah-tengah masyarakat. Ini merupakan hal yang penting namun bukan yang terpenting.Bagaimana mereka menuntut untuk diterapkan hukum Allah terhadap pencuri, pezina, sebelum ia meminta untuk diterapkannya hukum Allah terhadap pelaku kemusyrikkan?. Bagaimana ia meminta diterapkan hukum Allah terhadap pencuri sebelum ia meminta diterapkannya hukum Allah terhadap orang-orang yang menyembah berhala dan kuburan dan orang-orang yang mengingkari Nama-Nama dan sifat-sifat Allah?.
Bukankah dosa kemusyrikan lebih besar dari dosa orang yang berzina, meminum khamer dan mencuri?!! Sesungguhnya dosa-dosa ini merupakan yang dilakukan terhadap hak mahluk (hamba). Sementara kesyirikkan dan menolak akan nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan kejahatan terhadap hak Khaliq (Pencipta) I ,Sedangkan hak Pencipta lebih diutamakan daripada hak mahluk-mahluknya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Dosa-dosa ini ketika dilakukan dengan benarnya tauhid lebih baik dari rusaknya tauhid diiringi dengan perbuatan dosa-dosa ini ". [109]
Hal ini juga sesuai dengan firman Allah,
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar ". [110]
Sebagian jama'ah dakwah yang lainnya tidak menaruh perhatian terhadap masalah akidah, melainkan hanya mementingkan dakwah dengan membiasakan dzikir-dzikir dengan metode sufi dan menekankan akan pentingnya khuruj (baik di luar atau di dalam negeri). Yang penting bagi mereka adalah manusia mau bergabung bersamanya tanpa memandang akidah mereka. Semua ini merupakan cara-cara bid'ah dengan memulai dakwahnya pada bagian terakhir dari apa yang didakwahkan oleh para rasul. Hal ini bagaikan mengobati sekujur tubuh yang terpenggal kepalanya, karena akidah itu bagaikan kepala dalam masalah agama.
Yang diharapkan dari jama'ah dakwah ini adalah memperbaiki pemahamannya dengan merujuk kepada Al Qur'an dan As Sunnah agar mengetahui manhaj para rasul dalam berdakwah di jalan Allah. Karena sesungguhnya Allah telah memberikan kabar bahwa kekuasaan yang menjadi tujuan dakwah jama'ah-jama'ah tersebut tidak akan terwujud sebelum mereka memperbaiki akidah mereka yaitu menyembah Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Allah berfirman:
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan untuk mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. " [111]
Mereka ingin mendirikan Daulah Islamiyahsebelum membersihkan negara mereka dari akidah-akidah berhala, dengan menyembah patung, orang yang telah meninggal dunia, meminta pada kuburan. Hal ini tidak berbeda dengan akidah orang-orang kafir jahiliyah terhadap Laata, 'Uzza, Mannah dan lainnya. Sesungguhnya berhukum dengan syari'at Allah, menegakkan hukum pidana, mendirikan pemerintahan Islam, meninggalkan larangan-larangan dan mengerjakan kewajiban-kewajiban merupakan hal yang menjadi pelengkap dan cabang Tauhid. Maka bagaimana memperhatikan yang cabang sedang yang pokok dilupakan?
Apa yang terjadi dengan jama'ah-jama'ah dakwah ketika menyelisihi manhaj para rasul dalam berdakwah terjadi karena mereka tidak mengetahui manhaj dakwah para Rasul. Seseorang yang tidak mengetahui akan hal tersebut tidaklah pantas menjadi seorang da'i, karena di antara syarat dakwah adalah mengetahui ilmunya, sebagaimana Firman Allah:
"Katakanlah:" Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik ". [112]
Dan yang terpenting bagi seorang da'i adalah ilmu. Sehingga ada di antara mereka yang ditanya tentang pengertian Islam, pembatal-pembatalnya dan lainnya, tidak mampu bisa mereka jawab.
Setiap jama'ah dakwah juga membuat metode dakwah tersendir yang berbeda antara satu jamaah dengan jamaah yang lain. Inilah akibat dari menyelisihi manhaj dakwah Rasulullah , karena manhaj para Rasul adalah satu tidak ada perbedaan di antara mereka, sebagaimana Firman Allah:
"Katakanlah:" Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,[113]
Maka siapa saja yang mengikuti jalannya Rasulullah e yang satu ini maka mereka tidak akan mungkin berselisih.
Mereka berselisih karena menyelisihi manhaj beliau, sebagaimana Firman Allah:
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya." [114]
Selama jama'ah-jama'ah dakwah yang bermacam-macam ini menyimpang maka ini akan membahayakan bagi Islam karena menyebabkan seseorang berpaling ketika akan masuk agama Islam dan hal tersebut bukanlah dari ajaran Islam, sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. " [115]
Islam juga menyerukan agar berkumpul pada kebenaran, sebagaimana Firman Allah: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai " [116]

Disarikan dari Pengantar " Manhajul Anbiya 'fid Da'wah ilallah fihil Hikmatu wal' aql "karya Prof. DR. Syaikh Rabi 'bin Hadi bin Umar Al-Madkhali, oleh Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.